Kurtilas Wajib 2017, Siapa Takut? …(SCIENTIFIC FRIDAY of EDUCATIONAL TECHNOLOGY)
Dunia pendidikan di Indonesia kembali menghangat dengan adanya tekad pemerintah yang menetapkan target untuk melaksanakan Kurikulum 2013 di semua sekolah pada tahun 2017. Sebelumya melalui Permendikbud nomor 160 tahun 2014, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan pemberlakuan Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013. Pelatihan dan pendampingan menjadi program yang gencar dilakukan belakangan ini. Bagi sebagian guru, Kurikulum 2013 dipandang sebagai hal yang merepotkan. Banyak hal yang harus dipersiapkan dalam penerapan kurikulum ini. Pada kesempatan SFET kali ini, Mariyana memaparkan tentang apa dan bagaimana Kurikulum 2013. Beliau adalah guru Seni tari di SMAN 9 Bandar Lampung yang telah menerapkan Kurikulum 2013. Terungkap bahwa dengan persiapan yang baik, guru tidak perlu takut terhadap Kurikulum 2013. Semoga.
Dunia pendidikan di Indonesia kini tengah memasuki babak baru. Berdasarkan sejarah yang di catat telah ada beberapa periode pergantian model kurikulum yang digunakan di Indonesia. Antara rentang waktu setelah Indonesia merdeka sekitar tahun 1947 hingga hari ini setidaknya sudah lebih dari sepuluh kali terjadi pergantian kurikulum. Sebut saja beberapa tahun terakhir ketika memasuki tahun 2004 model yang digunakan adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dirubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. Yang mana KTSP lebih mengedepankan nilai-nilai pendidikan karakter pada peserta didik. Tujuh tahun setelah implementasi KTSP, disempurnakan kembali menjadi Kurtilas atau kepanjangan dari Kurikulum 2013. Pertanyaannya adalah ada apa dengan dunia pendidikan di Indonesia ? kenapa harus selalu berubah-ubah kurikulumnya ? adakah yang salah dalam proses penyusunannya ?
Sebelum kita berkomentar, mari lihat terlebih dahulu dari sisi positifnya. Pengembangan kurikulum yang semula KTSP berganti menjadi Kurikulum 2013 sebagai pelengkap. Pada model kurikulum sebelumnya yang lebih ditekankan adalah mengenai pendidikan karakter peserta didik, sementara untuk pendidikan karakter bagi gurunya luput dari pemantauan. Jujur, jaman sekarang sedikit sekali guru yang benar-benar menjadi guru. Sejatinya seorang guru ia mampu mendidik, bukan hanya sekedar mengajar. Sebagai seorang guru ia seharusnya dapat menjadi contoh teladan, digugu dan ditiru. Fakta yang ada di lapangan malah sebaliknya. Ada guru yang tidak sadar kalau dirinya seorang guru. Yang dikejar hanya penghasilan semata, bagaimana mendapatkan sertifikasi dan tunjangan lainnya. Sementara tugasnya tidak ada peningkatan kualitas. Tidak mau tau terhadap permasalahan yang terjadi di peserta didik. Oleh sebab itu, salah satu faktor yang ditekankan pada kurikulum 2013 adalah standar kompetensi K1 dan K2. Yaitu bagaimana menanamkan nilai-nilai moral spiritualitas dan kepribadian sebagai seorang guru. Tidak heran jika biaya penerapan kurikulum 2013 sangat besar karena sebagian dialokasikan untuk kegiatan peningkatan mutu tenaga pendidik melalui BPSDMPK (Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan). Intinya tidak hanya peserta didik yang harus belajar, para tenaga pendidik pun harus senantiasa belajar upgrade pengetahuan ilmunya menyesuaikan dengan jaman yang senantiasa berubah.
Dalam sisi lain, penerapan kurikulum 2013 dirasa belum maksimal. Salah satu contohnya dalam pendistribusian buku penunjang belajar, baik itu buku siswa maupun buku guru dibeberapa daerah ada sekolah yang belum menerima. Entah ini karena kelalaian dari pemerintah pusat yang terlambat mengirim atau kelalaian pemerintah daerah melalui dinas terkait yang belum siap menghadapi kurikulum 2013. Akhirnya yang menjadi korban adalah sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Karena merasa kebingungan fasilitas bahan ajar tidak lengkap, akhirnya mengajar ‘seadanya’ saja. Untuk tenaga pendidik yang ikut proses pendidikan dan pelatihan pun belum semuanya, sehingga pemahaman dalam proses belajar mengajar di kelas yang sesuai dengan kurikulum masih belum optimal. Contoh lain yang dirasa merepotkan adalah ketika proses pemberian nilai. Format yang disediakan terlalu banyak dan detail. Meliputi semua aspek kegiatan dan kepribadian peserta didik. Butuh waktu untuk mengerjakannya dan terasa berat untuk awal memulainya.
Kesimpulannya adalah dalam proses pengembangan kurikulum 2013 perlu dilakukan dengan upaya yang lebih serius. Adanya kerjasama semua pihak dari lini atas hingga bawah membutuhkan kerja keras. Sungguh sangat disayangkan ketika negara telah mengeluarkan anggaran biaya yang begitu besarnya tetapi tidak ada hasil. Kita perlu bersama-sama berupaya dalam penerapannya. Minimalnya melakukan upaya pengawasan dan pemantauan agar alokasi biaya yang ada tidak menguap begitu saja. Bukan menjadi rahasia lagi, data menyebutkan bahwa terdapat 268 kasus korupsi di lingkungan kementerian pendidikan. Semoga tidak menimpa pada ‘proyek’ kurikulum 2013 ini. Kenapa dikatakan proyek ? Memang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa pengembangan kurikulum sekarang tidak lain untuk membuat proyek agar dana dari negara bisa keluar. Pendapat lain menyebutkan juga kalau pengembangan kurikulum di Indonesia sebagai sebuah ‘ritual’ yang dilakukan agar terlihat bekerja menterinya. Apapun pendapat orang lain diluar sana, nasi sudah menjadi bubur. Proses implementasi sudah berjalan. Kita lihat saja hasilnya nanti.
Jumat/ 16 Oktober 2015
Oleh : Mariyana, NPM 14230110 15